Di belahan Eropa, terdapat sebuah tradisi bernama Snus yaitu, mengisap tembakau sebagai upaya menekan laju perokok aktif di Swedia. Bila diperhatikan, cara yang dilakukan tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan nginang di Indonesia.
Hanya saja, perbedaan keduanya terletak pada bahan bakunya saja. Nginang menggunakan pinang, gambir, tembakau, cengkih, sirih, dan kapur. Kebiasaan ini sudah dilakukan sejak zaman Indonesia masih berbentuk kerajaan.
Mereka melakukan seperti halnya, kamu memakan permen. Sayangnya, kebiasaan ini mulai menghilang, biasanya dilakukan oleh para orang tua. Tetapi, lansia zaman sekarang kurang berminat untuk melanjutkan tradisi tersebut.
Sejarah Tradisi Nginang
Jika, ditelusuri lebih dalam pasti muncul sejumlah pertanyaan mengenai sejarah dari mana kebiasaan tersebut berasal? Menurut ceritanya, menginang ini sudah di bawa oleh para musafir Tiongkok dua abad yang lalu.
Seiring perkembangan zaman, kebiasan tersebut diteruskan oleh suku Melayu yang dibuktikan melalui sastra asli yang tertulis bahwa, menginang mempunyai makna dan filosofi cukup kuat. Dimana, orang yang melakukannya dipercaya akan membuka pintu hati, rezeki, dan rumah.
Perlu diketahui bahwa, zaman dulu orang melakukan hal ini sebagai upaya mencegah bau mulut. Kandungannya memang sangat efektif. Maklum saja, pada masa kerajaan belum ditemukan pasta gigi atau juga obat kumur seperti sekarang ini.
Efektifnya ramuan kinang ini membuat seluruh penduduk akhirnya, mulai melakukannya hingga tersebar di berbagai penjuru. Bahkan, sudah menjadi candu yang sulit untuk dilepaskan.
Hingga akhirnya, tradisi tersebut terus diturunkan. Sayangnya, setelah pembersih gigi dan mulut ditemukan, kebiasaan ini perlahan mulai menghilang. Apalagi, untuk menemukan bahannya cukup sulit, orang mulai malas dan beralih ke metode yang lebih singkat.
Manfaat besar dari Tradisi Nginang
Candu dari kebiasaan ini sebenarnya, bukan tanpa alasan. Mereka percaya bahwa, tidak hanya aroma mulut saja, melainkan bisa digunakan sebagai salah satu perawatan gigi. Selain itu, fungsi lainnya adalah menyembuhkan beberapa luka yang terdapat di mulut.
Jika, terjadi pendarahan di bagian gusi, dengan menginang. Biasanya pendarahan tersebut akan berhenti seketika. Tidak heran bila sering dijadikan sebagai obat untuk berkumur. Bagi masyarakat suku Jawa sendiri, sangat percaya akan manfaat yang sudah disebutkan di atas.
Mengapa bisa demikian? Cobalah lihat pada nenek-nenek yang sudah melakukan kegiatan tersebut. Sampai usianya mencapai 70an, kekuatan pada gigi masih kuat, walau kemampuannya sudah mulai berkurang.
Menurut masyarakat Jawa Kuno, sebenarnya menginang ini mempunyai sebuah filosofi. Kondisi tersebut diambil dari berbagai macam bahan yang terkandung didalamnya.
Filosofi dari tradisi nginang berdasarkan bahannya
Sejak dulu, masyarakat Jawa selalu menghubungkan segala sesuatunya berdasarkan makna pada kehidupan. Sama halnya dengan menginang, dalam pembuatannya ada beberapa bahan yang punya arti tersendiri, seperti
- Sirih bisa diibaratkan sebagai seseorang yang rendah hati. suka memberi, serta senantiasa memuliakan
- Pinang mempunyai makna akan memiliki keturunan yang baik
- Kapur serta tembakau melambangkan sebuah ketabahan hati serta rela menolong terhadap sesama
- Gambir memiliki makna mengenai kesabaran, hati yang teguh terhadap seseorang
Bagi sebagian orang tidak melakukannya membuat mereka merasakan hal yang tidak baik seperti, badan pegal dan lainnya sebagainya. Perlu diketahui pula bahwa, tradisi ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja.
Zanan dulu peradaban Malaysia dan Thailand juga pernah melakukannya. Bahkan, ada sebuah bukti yang mengatakan bahwa tradisi ini pernah ditemukan di dalam Gua Roh. Sayangnya, menginang sudah mulai langka.
Tradisi nginang, bukan hanya digunakan sebagai bagian dari kebudayaan dan tradisi saja, tetapi, juga sering dibuat sebagai salah satu bahan untuk menguatkan gigi dan bau mulut. Apakah kamu mau melanjutkan kebiasaan ini?